Senin, 03 Desember 2007

gLoBaL wArMinG

ecara alamiah panas matahari yang masuk ke bumi,
sebagian akan diserap oleh permukaan bumi, sementara
sebagian lagi akan dipantulkan kembali ke luar
angkasa. Adanya lapisan gas – disebut gas rumah kaca –
yang berada di atmosfer menyebabkan terhambatnya panas
matahari yang hendak dipantulkan ke luar angkasa
menembus atmosfer. Peristiwa terperangkapnya panas
matahari di permukaan bumi ini dikenal dengan istilah
efek rumah kaca.

Sejak revolusi industri tahun 1870-an, kegiatan
manusia yang menggunakan bahan bakar fosil (minyak,
gas dan batubara) terus meningkat. Kegiatan seperti
pembangkitan tenaga listrik, kegiatan industri,
penggunaan alat-alat elektronik, dan penggunaan
kendaraan bermotor pada akhirnya akan melepaskan
sejumlah emisi gas rumah kaca ke atmosfer.

Hal ini berakibat pada meningkatnya jumlah gas rumah
kaca yang berada di atmosfer yang kemudian menyebabkan
meningkatnya panas matahari yang terperangkap di
atmosfer. Peristiwa ini pada akhirnya menyebabkan
meningkatnya suhu di permukaan bumi, yang umum disebut
PEMANASAN GLOBAL.

Pemanasan global kemudian pada prosesnya menyebabkan
terjadinya perubahan seperti meningkatnya suhu air
laut, yang menyebabkan meningkatnya penguapan di
udara, serta berubahnya pola curah hujan dan tekanan
udara. Perubahan-perubahan ini pada akhirnya
menyebabkan terjadinya perubahan iklim.

Berdasarkan penelitian para ahli, perubahan iklim
diketahui akan menimbulkan dampak-dampak yang
merugikan bagi kehidupan umat manusia. Kekeringan,
gagal panen, krisis pangan dan air bersih, hujan
badai, banjir dan tanah longsor, serta wabah penyakit
tropis merupakan beberapa dampak akibat perubahan
iklim. Oleh karena itu, demi kelangsungan hidup
manusia kita harus segera berupaya mengurangi kegiatan
yang mengeluarkan emisi gas rumah kaca guna menghambat
laju terjadinya perubahan iklim.

Gas Rumah Kaca

Gas rumah kaca adalah gas-gas di atmosfer yang
memiliki kemampuan untuk menyerap radiasi matahari
yang dipantulkan oleh bumi sehingga menyebabkan suhu
di permukaan bumi menjadi hangat. Gas-gas ini terutama
dihasilkan dari berbagai kegiatan manusia, terutama
kegiatan yang menggunakan bahan bakar fosil, seperti
penggunaan kendaraan bermotor dan kegiatan industri.

Menurut Konvensi PBB mengenai Perubahan Iklim (United
Nations Framework Convention on Climate Change –
UNFCCC), ada 6 jenis gas yang digolongkan sebagai GRK,
yaitu:

1. karbondioksida (CO2) —> pembakaran bahan bakar
fosil di sektor energi, transportasi dan industri
2. dinitro oksida (N2O)
3. metana (CH4)
4. sulfurheksaflorida (SF6)
5. perflorokarbon (PFCs)
6. hidroflorokarbon (HFCs)

Gas karbondioksida, dinitro oksida dan metana terutama
dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil di sektor
energi, transportasi dan industri. Gas metana juga
dihasilkan dari kegiatan pertanian dan peternakan.
Sementara untuk 3 jenis GRK yang terakhir,
sulfurheksaflorida, perflorokarbon dan
hidroflorokarbon dihasilkan dari industri pendingin
dan penggunaan aerosol.

Efek Rumah Kaca

Dinamakan efek rumah kaca, karena peristiwanya mirip
dengan yang terjadi di dalam rumah kaca yang biasa
digunakan untuk kegiatan pertanian dan perkebunan
untuk menghangatkan tanaman di dalamnya. Panas yang
masuk ke dalam rumah kaca akan TERPERANGKAP di
dalamnya, tidak dapat menembus keluar kaca, sehingga
akhirnya menghangatkan seisi rumah kaca tersebut.
Perlu dicatat, bahwa peristiwa efek rumah kaca
bukanlah efek yang ditimbulkan oleh gedung-gedung
kaca.

Bagaimana proses terjadinya efek rumah kaca?

Panas matahari yang merambat masuk ke bumi melintasi
atmosfer akan diserap oleh permukaan bumi. Kemudian
sebagian panas matahari tersebut akan dipantulkan
kembali oleh permukaan bumi ke angkasa melalui
atmosfer.

Sebagian panas matahari yang dipantulkan tersebut akan
diserap oleh gas rumah kaca yang berada di atmosfer
menyelimuti bumi.Panas matahari tersebut terperangkap
di permukaan bumi, tidak bisa melintasi atmosfer.
Peristiwa ini menyebabkan suhu di bumi menjadi lebih
hangat.

Semakin banyak jumlah gas rumah kaca yang berada di
atmosfer, maka semakin banyak pula panas matahari yang
terperangkap di permukaan bumi, sehingga suhu bumi pun
menjadi semakin panas.

Sumber Emisi GRK

Meningkatnya jumlah emisi gas rumah kaca (GRK) di
atmosfer disebabkan oleh kegiatan manusia di berbagai
sektor, antara lain:

1. Energi

Pemanfaatan bahan bakar fosil, seperti minyak bumi,
batubara, dan gas, secara berlebihan dalam berbagai
kegiatan merupakan penyebab utama dilepaskannya emisi
gas rumah kaca ke atmosfer. Pembangkitan listrik,
penggunaan alat-alat elektronik seperti AC, TV,
komputer, penggunaan kendaraan bermotor dan kegiatan
industri merupakan contoh kegiatan manusia yang
meningkatkan emisi GRK di atmosfer.

Walaupun sama-sama menghasilkan emisi GRK, minyak
bumi, batubara dan gas bumi menghasilkan tingkat emisi
yang berbeda-beda untuk jenis kegiatan yang sama.
Contohnya, untuk menghasilkan energi sebesar 1 kWh,
pembangkit listrik yang menggunakan batubara
mengemisikan sekitar 940 gram CO2. Sementara
pembangkit listrik yang menggunakan minyak bumi dan
gas alam menghasilkan emisi GRK sekitar 798 dan 581
gram C02.

Dari contoh di atas terlihat bahwa di antara ketiga
jenis bahan bakar fosil, batubara menghasilkan emisi
CO2 paling tinggi daripada minyak bumi dan gas alam.

Di Indonesia, di antara sektor lainnya, sektor energi
menempati urutan kedua sebagai sumber GRK yaitu
sekitar 25% dari total emisi. Sementara dari sisi
pemanfaatan energi di Indonesia, sektor industri
merupakan sektor pengemisi GRK terbesar, diikuti oleh
sektor transportasi.


2. Kehutanan

Salah satu fungsi hutan adalah sebagai penyerap emisi
GRK, biasa disebut carbon sink. Hutan bekerja untuk
menyerap dan mengubah karbondioksida (CO2), salah satu
jenis GRK, menjadi oksigen (O2) untuk kebutuhan mahluk
hidup. Oleh karena itu kegiatan pengrusakan hutan,
penebangan hutan, perubahan kawasan hutan menjadi
bukan hutan, menyebabkan lepasnya sejumlah emisi GRK
yang sebelumnya disimpan di dalam pohon.

Seharusnya dengan luasnya kawasan hutan di Indonesia,
sekitar 144 juta ha (tahun 2002), maka emisi GRK yang
dapat diserap jumlahnya cukup banyak. Namun dengan
laju kerusakan hutan sekitar 2,2 juta ha per tahun,
tak heran jika sector kehutanan merupakan penyumbang
emisi GRK terbesar di Indonesia. Menurut The First
National Communication yang berisi inventarisasi GRK
di berbagai Negara, sekitar 64% dari total emisi GRK
di Indonesia dihasilkan dari sektor kehutanan.


3. Pertanian dan Peternakan

Sektor pertanian dan peternakan juga memberikan
kontribusi terhadap peningkatan emisi GRK di atmosfer.
Dari sektor pertanian, emisi GRK dihasilkan dari sawah
yang tergenang, pemanfaatan pupuk, pembakaran padang
sabana, dan pembusukan sisa-sia pertanian. Sektor
pertanian menurut The First National Communication
secara umum menghasilkan emisi GRK hanya sekitar 8%.
Namun sektor ini menghasilkan emisi gas metana
tertinggi dibandingkan sektor lainnya.


Sementara dari sektor peternakan, emisi GRK berupa gas
metana (CH4) dilepaskan dari kotoran ternak yang
membusuk. Sesungguhnya untuk mengurangi emisi GRK dari
sector ini, kotoran ternak dapat diolah untuk menjadi
biogas, bahan bakar yg ramah lingkungan.

4. Sampah

Manusia dalam setiap kegiatannya hampir selalu
menghasilkan sampah. Sampah sendiri turut menghasilkan
emisi GRK berupa gas metana (CH4), walaupun dalam
jumlah yang cukup kecil jika dibandingkan dengan emisi
GRK yang dihasilkan dari sektor kehutanan dan energi.

Diperkirakan 1 ton sampah padat menghasilkan 50 kg gas
metana. Dengan jumlah oenduduk yang terus meningkat,
diperkirakan pada tahun 2020 sampah yang dihasilkan
per hari sekitar 500 juta kg/ hari atau 190 ribu ton/
tahun. Ini berarti pada tahun tersebut Indonesia akan
mengemisikan gas metana ke atmosfer sebesar 9500 ton.

Sampah kota perlu dikelola secara benar, agar laju
perubahan iklim bisa diperlambat.

Dampak Perubahan Iklim

Perubahan iklim dalam prosesnya terjadi secara
perlahan sehingga dampaknya tidak langsung dirasakan
saat ini, namun akan sangat terasa bagi generasi
mendatang.

Di bawah ini adalah beberapa dampak yang akan terjadi
akibat perubahan iklim:

1. Mencairnya es di kutub
2. Meningkatnya permukaan air laut
3. Pergeseran musim

Dampak perubahan iklim bagi Indonesia antara lain:

1. Kenaikan temperatur dan berubahnya musim
2. naiknya permukaan air laut
3. dampak perubahan iklim terhadap sektor perikanan
4. dampak perubahan iklim terhadap sektor kehutanan
5. dampak perubahan iklim terhadap sektor pertanian
6. dampak perubahan iklim terhadap kesehatan

Konvensi Perubahan Iklim

Meningkatnya bukti ilmiah akan adanya pengaruh
aktivitas manusia terhadap sistem iklim serta
meningkatnya kesadaran masyarakat akan isu lingkungan
global, menyebabkan isu perubahan iklim menjadi
perhatian dalam agenda politik internasional pada
tahun 1980-an. Adanya kebutuhan dari para pembuat
kebijakan akan informasi ilmiah Terkini guna merespon
masalah perubahan iklim, maka pada tahun 1988, World
Meteorological Organization (WMO) dan United Nations
Environment Programme (UNEP) mendirikan
Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC),
sebuah lembaga yang terdiri dari para ilmuwan seluruh
dunia yang bertugas meneliti fenomena perubahan iklim
serta kemungkinan solusi yang harus dilakukan.

Pada tahun 1990, IPCC menghasilkan laporan pertamanya,
First Assesment Report, yang menegaskan bahwa
perubahan iklim merupakan sebuah ancaman serius bagi
seluruh dunia dan untuk itu diperlukan adanya
kesepakatan global untuk mengatasi ancaman tersebut.

Untuk merespon seruan IPCC, pada Desember 1990,
Majelis Umum PBB membentuk sebuah komite,
Intergovernmental Negotiating Committee (INC), untuk
melakukan negosiasi perubahan iklim hingga pada
pembuatan Kerangka Kerja Konvensi Perubahan Iklim
(Framework Convention on Climate Change/ FCCC).

Setelah INC melakukan beberapa kali pertemuan, sejak
Februari 1991 - Mei 1992, mengenai kerangka kerja
konvensi tersebut, akhirnya pada tanggal 9 Mei 1992
INC mengadopsi sebuah konvensi yang dikenal dengan
Konvensi PBB untuk Perubahan Iklim (United Nations
Framework Convention on Climate Change/ UNFCCC).
Konvensi tersebut kemudian terbuka untuk
ditandatangani pada KTT Bumi di Rio de Janeiro, Juni
1992. Konvensi Perubahan Iklim dinyatakan telah
berkekuatan hukum sejak 21 Maret 1994, setelah
diratifikasi oleh 50 negara. Saat ini konvensi
tersebut telah diratifikasi oleh lebih dari 180
negara.

Konvensi Perubahan Iklim ini mempunyai tujuan utama
untuk menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca di
atmosfer hingga pada tingkat aman, sehingga tidak
membahayakan system iklim global. Namun pada konvensi
ini belum ada target-target yang mengikat, seperti
target Tingkat konsentrasi gas rumah kaca yang aman,
serta batasan waktu untuk mencapai target tersebut.

Pada konvensi ini, negara-negara peserta dibagi dalam
2 kelompok, yaitu negara maju yang terdafar di dalam
Annex I (dikenal dengan negara Annex I) serta negara
berkembang yang tidak terdaftar di dalam Annex I
(dikenal dengan negara non-Annex I).

Konvensi ini dilandasi dengan prinsip kesetaraan
(equity) dan prinsip 'common but differentiated
responsibilities', yaitu prinsip tanggung jawab
bersama namun dengan beban yang berbeda-beda. Ini yang
mendasari adanya perbedaan tanggung jawab antara
negara maju dan negara berkembang dalam upaya
menurunkan emisi GRK.


Protokol Kyoto

Kemudian pada tahun 1995, untuk pertama kalinya
diadakan sebuah Conference of the Parties (COP), atau
pertemuan tahunan negara-negara penandatangan Konvensi
Perubahan Iklim, pada tanggal 28 Maret - 7 April di
Berlin, Jerman. COP 1 ini ditujukan untuk mendapatkan
kesepakatan bersama mengenai langkah-langkah yang akan
diambil sehubungan dengan masalah perubahan iklim
serta untuk mengadopsi sebuah protokol yang dapat
memperkuat komitmen negara-negara Annex I.

Pertemuan COP 3 yang diselenggarakan pada tanggal 1 -
10 Desember 1997, merupakan ajang pergulatan yang
sangat alot antara negara maju dan negara berkembang.
Negara maju yang secara historis telah lebih dahulu
mengemisikan GRK ke atmosfer melalui kegiatan
industrinya, menolak untuk memberi komitmen yang
berarti di dalam Protokol Kyoto. Sementara negara
berkembang merasa belum mampu untuk menurunkan emisi
GRK-nya karena dianggap akan menghambat proses
pembangunan di negaranya.

Akhirnya, pada hari terakhir penyelenggaraan COP 3,
dihasilkanlah sebuah kesepakatan yang mengikat secara
hukum dengan komitmen yang lebih tegas dan detail.
Kesepakatan ini kemudian dikenal dengan Protokol
Kyoto. Protokol ini juga didasari dengan prinsip
'common but differentiated responsibilities. Oleh
karena itu protokol ini mewajibkan secara hukum negara
maju atau negara Annex I untuk mengurangi emisi
GRK-nya rata-rata sebesar 5,2% dari tingkat emisi
tahun 1990 pada periode tahun 2008 - 2012. Protokol
ini akan berkekuatan hukum 90 hari setelah
diratifikasi paling tidak oleh 55 negara dan harus
mewakili 55% total emisi negara-negara Annex I.

Pada tanggal 16 Februari 2005, Protokol Kyoto akhirnya
berkekuatan hukum setelah diratifikasi oleh 148
negara, dimana 111 diantaranya adalah negara Annex I.

Apa itu MPB (CDM)?

Mekanisme Pembangunan Bersih atau yang lebih dikenal
dengan Clean Development Mechanism (CDM) merupakan
salah satu mekanisme yang terdapat di dalam Protokol
Kyoto. Mekanisme ini merupakan satu-satunya mekanisme
yang melibatkan negara berkembang, dimana negara maju
dapat menurunkan emisi gas rumah kacanya (biasa
disebut emisi karbon) dengan mengembangkan proyek
ramah lingkungan yang dapat menurunkan emisi gas rumah
kaca di negara berkembang.

Mekanisme ini sendiri pada dasarnya merupakan
perdagangan karbon, dimana negara berkembang dapat
menjual kredit penurunan emisi gas rumah kaca kepada
negara Annex I, yaitu negara maju yang memiliki
kewajiban untuk menurunkan emisi.

Tujuan CDM seperti yang tertera pada Protokol Kyoto
artikel 12, adalah:

1. Membantu negara berkembang dalam menerapkan
pembangunan yang berkelanjutan serta menyumbang
pencapaian tujuan utama Konvensi Perubahan Iklim,
yaitu menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca dunia
pada tingkat yang tidak akan mengganggu sistem iklim
global.

2. Membantu negara-negara Annex I atau negara maju
dalam memenuhi target penurunan jumlah emisi
negaranya.

CDM membantu negara-negara Annex I untuk memenuhi
target pengurangan emisi rata-rata mereka sebesar 5,2
persen di bawah tingkat emisi tahun 1990, sesuai
dengan ketentuan di dalam Protokol Kyoto.

Dengan adanya mekanisme CDM diharapkan dapat mendorong
munculnya proyek-proyek ramah lingkungan, yang
terbukti dapat menurunkan emisi GRK di Negara
berkembang. Sebagai bukti bahwa proyek CDM yang
terkait telah berhasil menurunkan emisi GRK, maka
proyek tersebut akan dinilai, divalidasi dan
diverifikasi hingga akhirnya berhasil mendapatkan
sertifikat pengurangan emisi atau CER (Certified
Emission Reductions) yang dikeluarkan oleh Badan CDM
Internasional, lebih dikenal dengan Executive Board
(EB).

Dalam proses pengembangan proyek CDM disyaratkan
adanya partisipasi dari masyarakat disekitar proyek
atau pihak-pihak lain yang terkait dengan proyek
tersebut. Ini untuk menjamin bahwa proyek tersebut
tidak akan memberikan dampak negative bagi masyarakat
lokal.

Apa yang Bisa Kita Lakukan?

Sebagai individu kita mempunyai kewajiban untuk
menekan tingkat emisi GRK yang dilepaskan ke atmosfer,
yang dihasilkan dari kegiatan kita. Adapun beberapa
langkah nyata yang bisa kita lakukan sebagai upaya
mengurangi emisi GRK, antara lain:

Hemat Listrik

Gunakan penerangan dengan hemat. Penggunaan lampu
hemat energi dan penjadwalan penerangan rumah secara
tepat (misalnya sejak pk. 18.00-05.00) akan mengurangi
konsumsi listrik rumah tangga secara signifikan.

gunakan peralatan elektronik, seperti AC, TV, radio
dan komputer seperlunya saja. Jangan lupa untuk
mematikan peralatan elektronik yang sedang tidak
dipergunakan, misalnya matikan TV dan radio ketika
hendak pergi tidur.

Usulkan untuk memberikan penghargaan kepada konsumen
listrik yaitu dengan memberikan harga yang lebih
rendah kepada konsumen yang menggunakan listrik lebih
hemat daripada pengguna listrik besar (cont.
industri).

Kurangi penggunaan kendaraan pribadi

Kurangi penggunaan kendaraan bermotor pribadi agar
dapat menurunkan emisi GRK secara signifikan, karena
emisi yang dihasilkan dari kendaraan bermotor cukup
besar.

Jika terpaksa menggunakan kendaraan pribadi, upayakan
untuk berbagi dengan mereka yang memiliki tujuan yang
sama.

Jika harus memiliki kendaraan bermotor pribadi, pilih
yang hemat BBM dengan jenis bahan bakar yang lebih
bersih, misalnya BBG.

Gunakan sepeda atau berjalan kaki untuk menempuh jarak
dekat. Selain dapat menurunkan emisi GRK, berjalan
kaki dan bersepeda akan meningkatkan kesehatan

Menggunakan kendaraan umum

Gunakan kendaraan umum. Kendaraan umum merupakan cara
terbaik untuk mengurangi emisi CO2 dari kendaraan
bermotor.

Usulkan kepada pemda untuk menyediakan kendaraan umum
yang cepat, nyaman, dan ekonomis.

Tanam Pohon

tanamlah pohon di sekitar lingkungan anda tinggal.
Selain berfungsi untuk menyerap emisi GRK, pepohonan
juga berfungsi untuk menyegarkan udara di sekitarnya.

Dalam pembelian produk

Pilihlah produk lokal daripada produk impor. Secara
keseluruhan produk lokal akan memberikan emisi GRK
yang lebih kecil daripada produk impor yang dalam
proses transportasinya dari negara asal ke negara
tujuan.

Tidak ada komentar: